Assalamu’alaikum wr wb
Apa kabar readers?
Semoga senantiasa dalam keadaan sehat wal afiat yaa. Aamiin
Hari Selasa, 19 November 2019, saya berkesempatan mengikuti kajian parenting islami oleh Ustadz Bendri dengan tema Kecil-kecil Candu Gadget.
Judul yang sangat menggelitik bukan. Apa mungkin kecanduan gawai sejak dini?
Jawabannya ada di depan mata kita masing-masing, bagaimana cara interaksi anak dengan gawai.
Biasa saja saat tidak memegang gadget
Atau berulang kali merajuk
Ibu, aku mau main hp!
Anak, terutama yang lahir di atas tahun 1995 disebut sebagai generasi digital. Interaksi anak sejak lahir dengan teknologi, menyebabkan mereka dimasukkan ke dalam kategori digital native.
Anak-anak yang termasuk dalam digital native biasanya rentan untuk kecanduan gawai, karena sejak dini diperkenalkan dengan teknologi tersebut.
Sebagai perbandingan,
Dahulu saat anak menangis, biasanya orangtua akan menenangkan dengan cara menggendong dan berbicara,
Cup cup sayang, itu ada burung terbang, coba lihat disana, serta beŕbagai jenis bujukan lainnya yang melibatkan interaksi fisik ibu dan anak.
Bedakan dengan saat ini
Anak menangis, biasanya orangtua akan berkata
Cup cup, jangan menangis ya nak, nih ada film kartun favoritmu di gawai, sembari menunjukkan gambar dan video lucu dari gawai orangtua.
Sebuah contoh sederhana lainnya.
Saat kita kecil, kegiatan selepas pulang sekolah atau menunggu waktu biasanya beraktivitas fisik seperti bermain sepeda, layangan, bola, dan lainnya.
Bandingkan dengan anak sekarang, mungkin kita akan dengan mudah menemukan anak yang asyik dengan gawai di tangannya.
Oleh karena itu, anak-anak generasi digital native yang bersentuhan dengan teknologi, terutama gawai sejak dini, tidak ada kenangan interaksi dengan lingkungan.
Ustadz Bendri membandingkan dengan para orangtua yang masuk ke dalam generasi imigran native.
Di satu sisi berinteraksi dengan gawai, tapi di sisi lainnya, memiliki pengalaman pendidikan masa lampau.
Masih inget gak mak, pulang sekolah main ke rumah teman untuk bermain bola bekel, masak-masakan, lompat tali, dan aneka permainan tradisional lainnya.
Beda dengan zaman now, yang mungkin sangat jarang ditemukan permainan tradisional yang dimainkan oleh anak, lebih akrab dengan gawai di tangan.
Setuju gak mak kalau generasi 90an disebut sebagai generasi bahagia, karena merasakan perbandingan antara sosialiasi dunia nyata dengan dunia maya? 🤔
Di satu sisi kita pernah merasakan komunikasi melalui surat menyurat, lalu beralih ke telepon rumah, dan pas kuliah baru kenal gawai. Itupun masih hape jadul yang hanya bisa untuk telepon dan sms, hingga kini teknologi bertransformasi dengan sangat cepatnya.
Informasi berada dalam genggaman tangan
Masih inget zaman old, trend surat menyurat dengan sahabat pena, betah berlama-lama di wartel untuk telepon. Duh kenangan yang lucu-lucu ya mak.
Beda halnya dengan anak zaman now, sedari kecil sudah mengenal gawai.
Pada awalnya interaksi dengan gawai sebentar-sebentar, lalu semakin meningkat durasinya.
Seperti pepatah, sedikit-sedikit lama-lama menjadi bukit, maka tanpa disadari mulai timbul kecanduan, astagfirullah.
Candu terhadap gawai akan mengakibatkan 2 jenis kerusakan, yakni Dampak Fisiologis dan Psikologis.
A. Dampak Fisiologis
- Degenerasi manual karena retina mata sering terkena cahaya gadget. Cahaya pada gawai akan membuat luka pada lutein, karena ia akan mengikis lapisan lutein, terutama saat melihat gawai dalam kondisi tidak mendapatkan penerangan yang cukup, seperti menggunakan gawai di mobil saat malam hari.
- Repetitive strenghts injury, yaitu keadaan fisik yang terjadi akibat terus menerus bermain hp, seperti tangan kapalan, tulang punggung membungkuk karena terlalu sering melihat gawai.
- Nintendo Epilepsi, kecanduan bermain gawai menyebabkan kejang-kejang, karena saraf di otak terlalu lelah bermain.
- Bola mata statis karena terlalu lama menatap layar. Dampaknya anak jadi malas membaca, karena baca buku adalah aktivitas yang membuat mata dinamis, karena bergerak ke segala arah untuk melihat tulisan di buku.
- Bagian tubuh bagian bawah kurang mendapat stimulus, karena terlalu banyak duduk diam, hanya tangan yang bergerak.
Karena tubuh anak bagian bawah jarang terstimulus, maka aliran darah akan lebih banyak berkumpul di organ vital. Hal ini dapat menyebabkan ia mudah terangsang jika melihat gambar yang kurang baik.
Kondisi di atas dapat menyebabkan terjadi pubertas dini pada anak, karena organ reproduksi mengalami over stimulus.
B. Dampak Psikologi
- Anak menjadi tidak peka dan asosial
Riset mengatakan generasi paling bahagia adalah tahun 90an, karena mengalami perpindahan antara industri 3.0 ke 4.0, karena stimulus yang didapat seimbang antara lingkungan luar dan gadget.
Salah satu dampak psikologis kecanduan gawai adalah membentuk sifat asosial.
Sosialiasi termasuk kedalam kecerdasan interpersonal, dengan salah satu di antaranya adalah kemampuan untuk berbasa basi atau high contect communication.
Generasi zaman old biasanya saat bertemu orang masih suka basa-basi, ngobrol, dan membuka percakapan, meski dengan orang tak dikenal.
Bandingkan dengan cara berkomunikasi anak sekarang yang cenderung to the point, malas untuk basa basi, asyik dengan diri sendiri, dan lebih berpikir untuk membentuk eksistensi diri.
Jika membawa anak bertamu, apa yang dilakukannya, bermain dan ikut bergabung dalam pembicaraan, atau justru asyik sendiri bermain gawai?
Dalam tingkat yang lebih parah, anak yang kecanduan gawai akan menjadi antisosial.
2. Terburu-buru, tidak teliti, dan menjadi generasi instan.
Mak pernah gak perhatikan anak kita saat belajar?
Bagaimana tingkat konsentrasinya dalam menyelesaikan suatu pekerjaan?
Bisa fokus lama ataukah gak betahan, inginnya cepat-cepat saja dan cenderung tidak teliti dalam mengerjakan sesuatu.
Nah, tanpa kita sadari itu adalah salah satu dampak psikologis ketergantungan anak dengan gawai.
Baru betah dan anteng jika diperbolehkan menonton atau bermain gawai.
Selain itu, menjamurnya hoaks juga merupakan dampak dari sifat terburu-buru dan tidak teliti dalam menerima dan menyaring berita.
Karena ingin menjadi orang yang pertama sharing berita viral, tanpa cross check, langsung disebarkan.
Dalam berita hoaks ada dua pelaku utama, yakni pembuat konten dan distributor, tanpa sadar sikap terburu-buru dan tidak teliti menjadikan kita masuk kedalam lingkaran distributor hoaks, Astagfirullah.
Saat menerima sebuah berita, ada beberapa tahap yang harus dilakukan untuk validasi sebelum disebarkan, yaitu
STACR
Stimulan, mendapatkan sumber berita tidak lantas membuat kita telan mentah-mentah, lanjut ke tahap berikutnya.
Think, berpikir mengenai validitas berita yang diterima
Analisis, berikutnya adalah menganalisa, sumber berita, fakta dan kebenaran muatan, layak disebarkan atau tidak.
Choice, setelah menganalisa validitas berita, memilih untuk menjadi distributor atau keep for myself, nice to know aja.
Respon, jika berita tersebut dirasa bermanfaat dan layak untuk dikonsumsi publik serta terbukti kebenarannya, maka selanjutnya let your fingers work. Tekan tombol share.
3. Membentuk anak menjadi pribadi yang tidak tangguh atau flight.
Tanpa disadari, gawai membentuk pribadi anak tidak tangguh dalam menghadapi masalah.
Sebagai contoh, jika ada hal yang tidak disukai, lebih memilih left dibandingkan dihadapi.
Ustadz Bendri bercerita
Saya dulu pernah ngadu sama ayah kalau dipukul guru. Lalu sama ayah saya malah dibilang, mungkin kamu yang nakal kali.
Atau saat ada teman yang rese, ya saya hadapi, gak takut dan gentar.
Coba bandingkan anak zaman now, bermasalah dengan guru, bukannya diselesaikan baik-baik, mencari solusi dengan pindah sekolah. Lebih mencari aman dan bukannya dihadapi.
Saat bermasalah di tempat kerja, dengan mudah memilih resign, sehingga keluar istilah kutu loncat.
Tetapi kekhawatiran terbesar adalah saat membina rumah tangga. Sebuah ikatan yang suci dan kuat, apakah jika bermasalah dengan pasangannya, dengan mudah minta cerai?
Menurut Ustadz, realita yang terjadi saat ini adalah banyak angka perceraian terjadi, bahkan mungkin baru hitungan beberapa hari membina rumah tangga sudah bercerai karena ketidakcocokan.
Kalau gak cocok ya cerai aja, ngapain dipertahankan.
Naudzubillah, ternyata fenomena tersebut salah satunya disebabkan oleh kecanduan gawai, menjadikan generasi yang lebih baik lari dan cari aman, daripada menghadapi dan menyelesaikan masalah.
4. Mengalami Techno Junkies, atau ketakutan akan kehilangan gawai.
Bangun tidur ngecek hape, sebelum tidur lihat gawai, bahkan saat tidur ditemani gadget. 24 jam dalam sehari tidak pernah lepas dari hp.
Lebih baik tidak membawa dompet daripada gawai.
Lebih baik pulang lagi kerumah jika hp ketinggalan.
Pokoknya gawai dimana saja kapan saja.
5. Menyebabkan jiwa konsumtif
Tanpa sadar interaksi anak dengan gawai akan membentuk budaya konsumtif.
Seperti kita saja mak yang tergoda untuk membeli sesuatu karena ada iklan lewat di beranda medsos, padahal sebenarnya tidak penting-penting amat untuk dibeli.
6. Berpeluang menjadi generasi ikut-ikutan dengan selalu update kekinian.
Contoh sederhana adalah banyak anak zaman now yang memilih jadi youtuber atau selebgram.
Nah, karena tergiur penghasilan yang tinggi dengan pekerjaan yang mungkin dianggap fun, maka banyak anak yang terobsesi menjadi seperti idolanya tersebut.
Kalau menurut saya pribadi, selama konten yang mereka buat bermanfaat sebenarnya sah-sah saja, tapi yang membuat miris adalah, kadang yang banyak disukai justru konten unfaedah, dengan yang sedang tren saat ini adalah ngeprank.
Ustadz menutup kajian dengan menceritakan kisah orangtua yang curhat mengenai anaknya.
Pada awalnya si ibu menjanjikan akan membelikan anak gawai jika ia mau melanjutkan ke pesantren selepas SD.
Karena tergiur, si anak menerima syarat tersebut. Tetapi ternyata peraturan di pesantren tidak boleh memegang gawai sehingga hp dipegang sang ibunda.
Enam bulan berlalu, akhirnya si ibu diperbolehkan mengunjungi sang anak di pesantren. Ia sudah memasak makanan kesukaan sang anak, suami si ibu juga telah merencanakan agenda istimewa bersama anak. Maklum ya mak, pasti kangen berat 6 bulan gak ketemu.
Akhirnya hari yang dinanti tiba, pesantren membuat acara untuk mempertemukan antara anak dengan ortu mereka, dengan sebelumnya diberi tidak pembatas
Setelah tirai dibuka, dengan segenap kerinduan, sang ibu menatap anaknya, namun respon yang diharapkan sungguh tak terkira.
Ummi, mana hapeku?
Hancur hati sang ibu, bahwa anaknya lebih merindukan gawai dibanding orangtuanya.
Selama perjalanan pulang dan di rumah, anak justru asyik sendiri dengan gawai, tanpa menghiraukan kedua orangtuanya.
Sang ibu menyesal telah memperkenalkan gawai kepada anak sedari dini. Menjauhkan yang dekat.
Lebih senang bersama gawai dibanding beraktivitas bersama keluarga.
Saat kisah ini diceritakan, saya merasa tertampar bolak-balik. Astagfirullah, semoga tidak ada kata terlambat untuk memperbaiki diri.
Wallahu’alam